Hey! I'm come back ;)
Langsung aja yahh ;)
Little Story
Insiden kecil menjadi awal persahabatan kita
Nuansa putih abu-abu menjadi wadah bagi kisah kita
Masa awal SMA menjadi satu dari sekian kisah menarik tentang kita
“waduh mampus telat!!!” ujarku panik sambil berusaha mempercepat langkah kakiku. Tapi secepat apapun aku mencoba, sang waktu tidak akan pernah mau menunggu. Angka 07.15 telah menghiasi jam tanganku, membuatku tanpa sadar menambah kecepatan lariku di tengah lengangnya koridor sekolah akibat proses KBM yang tengah berlangsung, yang sayangnya tetap saja tidak akan mengubah keadaan bahwa aku sudah terlambat sekarang.
BRUUUUUUUKKK!!!
Karena terlalu sibuk melihat jam di tangan, tubuhku menabrak seseorang. Terdengar suara erangan cowok disusul dengan bunyi jatuhnya beberapa buku. Tak lama kudengar cowok itu mengumpat pelan.
“aduuuuuhhhh … maaf … maaf … maaf … nggak sengaja!!!” pintaku melas lalu mencoba berdiri.
“aduuuuuhhh!!!” erangku ketika menyadari kakiku sedang dalam kondisi tidak baik. Nampaknya tadi posisi jatuhku salah sehingga kakiku bisa nyut-nyutan begini. Ah shiittt!!! Pasrah aja deh, paling diceramahin bentar sama guru. Lagian juga aku masih baru di sini, baru seminggu yang lalu aku menyelesaikan Masa Orientasi Siswa di sekolah ini, SMA Victory.
“eh, loe nggak apa-apa?! Sini gue bantu” tawarnya ramah.
“kaki gue sakit” ratapku. Setelah membereskan buku-bukunya, dia membantuku berdiri dan memapahku setelah sebelumnya memintaku membawakan buku-bukunya.
“maaf banget yaa tadi gue nggak liat-liat jalan, soalnya gue udah telat banget neh. Buku loe jadi jatuh deh” ujarku merasa bersalah.
“never mind. Betewe, gue Alvin Jonathan, XA. Loe?!”
“Sivia Azizah, XC”
“yaudah, gue anterin ke kelas loe yaa”
“makasih …”
***
Saat tanpa sadar kita saling membutuhkan satu sama lain
Tanpa sadar selalu berusaha menjaga dan melindungi
Rasa penyesalan muncul saat tanpa sadar kau membawaku ke duniamu
“ALVIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNN!!!” aku berteriak memanggil namanya saat ekor mataku tak sengaja menangkap bayangan sesosok pemuda tinggi berwajah oriental yang berjalan di koridor kelas, tak jauh didepanku. Sesaat dia menoleh ke arahku dan menghentikan langkahnya, membuatku semakin mempercepat langkah dan berusaha mensejajari langkahnya.
“kenapa?!” tanyanya saat aku sudah berada disampingnya. Aku langsung menggamit lengannya manja dan memasang senyum manis, sangat manis.
“ada maunya neh pasti. Let me know it” ujarnya lagi sambil tersenyum dan menatapku dengan pandangan ingin tahu. Ah, dia selalu tau apa yang sedang aku inginkan. Padahal usia pertemanan kami baru seumur jagung, tapi nampaknya dia udah cukup mengerti diriku.
“nebeng pulang, yaaa?! Kak Cakka nggak bisa jemput, dia masih di Bandung sama kak Oik, ngurusin pernikahan mereka hari minggu ntar” kak Cakka kakak kesayanganku, dan dia lagi nyiapin pesta pernikahan dengan tunangannya, Oik Cahya. Tadi pagi aku emang nebeng sama kak Cakka yang mau pergi ke Bandung sama kak Oik, dan siang ini katanya mereka masih di sana.
“mobil loe mana?!”
“dipake Shilla” aku menyebutkan nama sepupuku yang baru dateng dari Sydney.
“yaudah deh ayo, tapi gue bawa motor neh, nggak apa-apa?!”
“noprob!!! Yang penting pulang”
“okeee lets go!!!”
***
“lha ini dimana, Vin?!” tanyaku heran saat Alvin memarkir cagivanya di halaman sebuah taman. Dia tidak menjawab, hanya menarik tanganku mengikutinya menuju satu titik.
“ngapain?!”
“mo ngambil ini doang kok” jawabnya serasa mengambil sebuah paket yang terletak di balik semak-semak di taman itu. Aku mengernyitkan kening heran.
“apaan tuh?!”
“ada deh. Sekarang kita balik yaa” ajaknya. Baru beberapa langkah tiga cowok berpakaian ala preman mencegat kami, membuatku tanpa sadar mencengkeram lengan Alvin. Alvin sendiri sepertinya udah cukup siaga dengan keadaan hingga dia langsung menyembunyikanku di belakangnya.
“mau apa loe?!” tanyanya dingin.
“weeettss kalem mas Nathan, apa mesti gue panggil Alvin sekarang?! Hhahaha” ujar salah satu dari tiga cowok tadi dengan nada mengejek. Nathan?! Lagi-lagi aku mengernyitkan kening heran.
“to the point aja deh, mau loe bertiga apaan?!” tanya Alvin lagi.
“hhahaha gue lupa loe orangnya cerdik banget,” jelas yang lain, kemudian matanya menjelajahi tubuhku, membuat aku semakin masuk ke dalam lindungan tubuh Alvin. “tadinya sih kita pengen ngajak loe main lagi, gue masih ngga terima sama kekalahan gue yang dulu”
“tapi kayanya cewek di belakang loe boleh juga” ujar yang ketiga dengan tatapan nakal. Aku ketakutan sekarang. Tanganku mendingin dan gemetar, cengkeramanku di lengan Alvin juga menguat, membuat Alvin berbalik menatapku dan kembali menatap tiga cowok di depannya dengan pandangan tajam. Dapat kurasakan tubuhnya menegang.
“gue bukan bagian dari kalian lagi!!! Dan buat loe bertiga, jangan sampe loe berani nyentuh ne cewek. Kalo nggak, gue pastiin loe bertiga bakal selamet sampe neraka!!!” ancam Alvin dingin, lalu dia berlalu meninggalkan tiga preman itu. Tetapi sayangnya preman-preman itu sepertinya belum puas. Salah satu dari mereka menarik satu tanganku yang kosong, menyebabkan langkahku seketika terhenti.
“LEPASIN!!!” bentakku galak sambil berusaha menepis tangan preman itu. Mereka tidak menanggapi bentakanku, malah tangan mereka menowel-nowel pipiku, membuatku semakin ketakutan.
BUUUUUUUUUUUUUUUUUUGGGGHHHH!!!
“GUE UDAH BILANG JANGAN PERNAH SENTUH DIA KALO LOE NGGAK PENGEN MATI SEKARANG!!!” teriak Alvin setelah menonjok tiga preman itu.
“loe nggak pa-pa?!” tanyanya khawatir sambil memeriksa sekujur tubuhku. Wajahku memucat, tanganku dingin dan gemetar, suaraku juga seakan nggak mau keluar.
Aku langsung memeluknya erat. “pu…pulang… takut…” ujarku lirih dan terbata-bata. Dapat kurasakan Alvin mengangguk mengurai pelukannya, ganti merangkul pundakku.
“maaf yaaa udah bikin loe takut” ujarnya tulus.
***
“kenapa nasib gue apes begini sih?! Kak Cakka sibuk honeymoon sama kak Oik, si Shilla belum puas jalan-jalan sama mobil gue. Alvin ngga tau kemana. Pake acara ngga taksi lewat segala lagi. Gue baliknya gimanaaa cobaa?!” aku menggerutu kesal sambil menendang kerikil di depanku. Karna ngga ada taksi ato bahkan angkot yang lewat di depan SMA Victory, aku memutuskan untuk berjalan kaki, siapa tau ntar di jalan ada taksi lewat kan?!
“kenapa tadi gue ngga nebeng sama Ify yaaa?! Aduh bego banget sih gue!!! gini kan jadinya” aku menepuk jidatku berkali-kali, mengutuk kebodohanku menolak tawaran Ify untuk pulang bareng tadi. Sesaat aku mendongak dan menatap keadaan di sekelilingku.
“mampusss ini dimanaa cobaa?! Ahh pake acara nyasar lagiii!!! Aduh apes banget sihh?!” erangku sambil duduk di trotoar pinggir jalan. Frustasi, aku kembali memandang keadaan sekelilingku dan sama sekali tidak mengenal daerah ini.
“Ini neh, akibat jalan sambil ngomel, nyasar kan jadinya. Aduh bego banget sih loe, Vi”
“aaaaaaaaarrrrrggghhh …” lamat-lamat aku mendengar erangan seseorang. Refleks aku memutar kepala dan mencari-cari sumber suara erangan itu berasal. Aku bangkit dari dudukku, mengibaskan rok sebentar dan berjalan menyusuri semak belukar di belakangku. Suara erangan itu berasal dari dalam.
“ini pelajaran buat loe, makanya jangan pernah berani untuk menentang aturan bos, apalagi keluar dari d’ryde. Ngerti loe?!” aku langsung menghentikan langkah begitu mendengar suara yang terkesan mengancam itu. Sekarang aku memelankan langkah, berusaha agar tidak terdengar oleh mereka yang sayangnya aku ngga tau siapa.
“persetan sama bos loe!!! Gue bukan anggota kalian lagi… dasar banci!!! Beraninya main keroyokan!!!! aaaaaaaaaaaarrrrrrghhhhhhhh” lagi-lagi aku mendengar suara erangan, kali ini disusul dengan derap langkah kaki yang makin lama makin menjauh dari posisiku berdiri sekarang, kurasa. Setelah merasa aman, aku menyingkap semak di depanku dan mataku membelalak begitu melihat sosok yang tergeletak tak berdaya dengan luka lebam di sekujur tubuhnya.
“AALLVIIIIIIIIIIIIIIIINNN!!!” pekikku histeris sambil berlari menghampirinya. Alvin mencoba duduk sambil meringis kesakitan. Aku langsung berlutut dan memeriksa sekujur tubuhnya. Darah yang menodai seragam putih abu-abu. Wajah yang penuh lebam. Sudut bibir yang sedikit sobek. Dan ooooohhh!!! Lengannya berdarah!!! Aku langsung mengeluarkan tisu dari dalam tas dan menyeka darah yang keluar dari lengan dan bibirnya.
“kenapa bisa kaya gini sih?!” tanyaku panik saat membersihkan darah di tangannya.
“mereka… mereka ngga terima… gue… gue keluar dari… dari d’ryde” jelasnya terbata sambil berusaha menahan sakit.
“d’ryde?!”
“geng motor” jelasnya lirih. “loe… loe ngapain disini?! Rumah loe kan ngga lewat sini” tanyanya.
Aku menatapnya sejenak sebelum kemudian mulai membersihkan darah di bibirnya. “gue nyasar, ngga bisa pulang” jelasku singkat.
“aaawww” ringisnya saat aku membersihkan sudut bibirnya.
“aduh sorry sorry kekencengan yaaa?!” aku tambah panik melihatnya meringis. Tangannya terangkat untuk menyentuh sudut bibirnya, tapi tanpa sadar dia malah menggenggam tanganku.
“ngga pa-pa, rada perih dikit. Makasih yaa?!” ujarnya tulus sambil memandang lurus ke mataku. Sesaat aku terpana, larut dalam tatapan lembut Alvin. Saat aku tersadar, aku langsung menundukkan wajahku yang mulai terasa panas. Sudut bibirku terangkat menyadari betapa Alvin…
“gue anter pulang yaa?!” tawarnya sambil berdiri.
“loe yakin?!” tanyaku ragu sambil memandangnya dari ujung rambut sampe ujung kaki.
“ngga pa-pa, gue kan kuat. Ayo, ntar keburu malem, takutnya Tante Gea nyariin” Alvin mengulurkan tangannya.
***
Seiring bergulirnya waktu
Seiring bertambahnya usia
Mulai timbul rasa lain untukmu
Akankah kau juga begitu?!
“hei!!!” aku mendongak saat merasakan pundakku ditepuk pelan seseorang.
“eh loe, Vin. Kenapa?!” tanyaku saat dia duduk disampingku, di bangku Ify. Sekarang emang udah jam istirahat, Ify sendiri lagi di kantin. Tapi aku masih di kelas, masih harus menyelesaikan catatan yang belum rampung kukerjakan. Aku dan Alvin memang tidak sekelas, aku di XI IA2 dia di XI IS1.
“tadi gue nyariin loe di kantin, tapi Ify bilang loe di kelas. Neh buat loe” Alvin menyodorkan dua bungkus roti dan sebotol air mineral ke arahku. Aku mengangkat alis, menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan.
“gue tau tadi pagi loe ngga sarapan, dan gue males ngegotong orang pingsan ke UKS, jadi mending loe makan neh roti” jelasnya santai. Aku melotot dan langsung mencubit lengan kirinya. “aduuuuhh kok dicubit sih?! Sakit tau!!!” Alvin meringis sambil mengusap pelan lengan kirinya, tapi senyum jahil jelas terpeta di wajahnya, membuat aku langsung menekuk mukaku.
“maksudnya apaan tuh males ngegotong orang pingsan ke UKS?!” tanyaku dengan wajah cemberut.
“hhahaha emang bener tau. Tuh liat, muka loe udah pucet kaya mayat hidup hhahaha aduuuuuuhhh…” kembali dia meringis saat aku mencubitnya untuk kedua kali.
“ngeselin” sungutku sambil menggembungkan pipi.
“hhahaha lucu banget sih loe!!!” kali ini Alvin mencubit pipiku dan menggoyangnya perlahan.
“ALVIINN!!!” suara Zevana membuat Alvin menurunkan tangannya dari pipiku.
“yaa Ze?!” tanya Alvin seraya menghampiri Zevana yang berdiri di ambang pintu.
“loe kok malah disini sih?! Bukannya ngerjain tugas malah pacaran sama CEWEK GILA” sungut Zevana sambil menekankan intonasi pada kalimat “CEWEK GILA” dan menatapku tajam. Hhh, hubunganku dengan cewek satu itu emang ngga pernah bagus. Zevana adalah salah satu dari sekian most wanted girl di SMA Victory, dan satu sekolahan juga udah tau kalo dia ngejar-ngejar Alvin. Sayangnya di sekolah ini Alvin hanya dekat dengan satu cewek, yaitu aku. Mungkin dia merasa direndahkan, jadi ada aja yang bikin dia mincing-mancing emosiku. Kaya sekarang. Dan sekarang aku ngga bermaksud membalas ucapannya, karna ada hal yang jauh lebih penting daripada membalas ucapan ngga penting Zevana. Catatan Biologiku yang belum rampung.
“bukannya tadi katanya gue udah boleh keluar yaa?!” tanya Alvin heran. Aku meneruskan kegiatan mencatatku tanpa memperdulikan kehadiran Zevana. Dan Alvin tentu saja.
“yaaa… itu… eum… masih ada yang kurang… iya masih ada yang kurang, jadi loe diminta anak-anak buat ngelengkapinnya” jelas Zevana gugup. Aku tersenyum kecil melihat ulah Zevana. Jelas dia hanya mengarang alasan agar Alvin tidak berada di dekatku lagi.
“tapi gue…”
“ah udah deh ntar keburu bu Nani masuk” Zevana menarik tangan Alvin saat Alvin hendak berbalik ke arahku. Aku hanya bisa menghela napas melihat tingkah laku Zevana.
Alvin Jonathan.
Aku selalu senang saat dia berada di dekatku. Seakan ada euforia tersendiri, menciptakan suasana damai dalam hatiku. Aku selalu merasa tenang saat dia disisiku, saat dia merangkulku, saat dia mengacak lembut rambutku. Kadang aku bisa tersipu malu saat dia menatapku dengan tatapan lembutnya, saat dia membelai pipiku. Ahhh Alvin, kau membuatku gila!!!
Kenapa aku merasa dia… istimewa?!
“HOOOOIIIIIIII!!!” teguran Ify mengagetkanku yang sedang melamunkan Alvin. Aku langsung mengelus dada.
“ngagetin aja sih loe. Untung gue ngga jantungan” sungutku kesal lalu kembali mencatat materi Biologi yang ada di depan papan tulis.
“lama amat loe nyatet?! Nah tuh roti dari siapa?!” tanya Ify sambil duduk di sampingku.
“dari Alvin, tadi dia kesini” jelasku singkat. Tanpa memperhatikannya pun aku tau Ify sedang tersenyum menggoda sekarang, tapi aku sedang tidak punya banyak waktu untuk meladeni tingkah gilanya. Waktuku sudah terbuang [tidak] sia-sia saat Alvin kesini, ditambah kehadiran Zevana, dan sekarang aku tidak mau membuang banyak waktu untuk Ify.
“hayoooooooooo” tuh kan bener. Tapi maaf yaa Fy, sekarang aku lagi sibuk, kapan-kapan aja yaa kita becandanya, hhehehe.
***
Caramu memperlakukanku
Caramu melindungiku
Sederhana, tapi sarat makna
“halooo sweety princess!!!” sapa Alvin sambil mengulurkan tangannya saat aku keluar dari Yaris putihku. Aku mengangkat alis sejenak lantas tersenyum manis.
“halooooooo, mas jelek” balasku sambil tersenyum manis. Air muka Alvin langsung berubah kecut.
“sial loe, Vi. Bagus-bagus yaa gue panggil princess, sweety lagi, malah diledek jelek. Ngga tau yaa kalo Alvin Jonathan ini cakep banget?!” yeee si Alvin malah narsis!!!
“gue ngga minta kan, wleee” aku menjulurkan lidah ke arahnya yang masih tersenyum kecut, lalu melanjutkan “ngga tuh. Gue taunya Alvin Jonathan jelek” ujarku cuek sambil berjalan meninggalkannya. Tapi tak lama dia udah menyusulku dan langsung merangkul pundakku.
“hah iya deh whatever you saylah. Berhubung gue ganteng gue maafin deh”
“ngeeeeekkk!!!”
“kantin yuk!!!” tiba-tiba dia membelokkan langkah menuju kantin, tinggal aku yang menatapnya bengong.
“ngapain ke kantin?! Gue belom ngerjain PR neeehhh!!!” tolakku sambil berusaha melepaskan rangkulan Alvin. Tapi Alvin malah semakin erat merangkulku.
“gue ngga mau nanggung resiko loe pingsan di kelas ntar. Udah deh ikut aja apa kata gue, kita sarapan bareng disini. Gue juga belom sarapan neh” jelasnya. Baiklah, aku menyerah. Kalau udah begini, Alvin pasti ngga akan mau dibantah. Mau ngga mau aku harus nurut apa katanya, kalo ngga dia bisa berbuat lebih extreme dari ini.
“tau darimana loe gue ngga sarapan?!” tanyaku sambil menyipitkan mata saat Alvin mendudukkanku di salah satu meja di sudut kantin. Alvin hanya tersenyum lalu berjalan menuju ibu kantin untuk memesan makanan. Uuurrrgghhhh Mamaaaa!!! batinku kesal saat menyadari makna senyuman Alvin.
“kenapa cemberut gitu sih mukanya?! Jelek ah” tegur Alvin saat aku menatap malas nasi goreng di depanku. Aku kembali mengaduk malas nasi gorengku tanpa sedikitpun berniat menatap wajahnya.
“itu juga nasi gorengnya jangan diaduk-aduk terus, dimakan kenapa?!”
“bawel!!!” ketusku tanpa berniat sedikitpun menyentuh nasi goreng yang lumayan menggiurkan di depanku itu. Nikmat sih, tapi aku sedang tidak berniat untuk makan. Jadi maaf aja yaa nasi goreng yang lezat, kali ini kamu ngga ada kesempatan masuk ke dalam rongga perutku.
Sekilas kulihat Alvin mendecakkan lidah. Kemudian tangannya bergerak mengambil sendok yang sedari tadi kumainkan lalu menyendokkan nasi ke mulutku.
“Alvin apaan sih?!” seruku kaget.
“udah deh diem ngga usah banyak cingcong. Gue suapin aja kalo loe ngga mau makan!!! Jangan sampe ntar loe malah pingsan di kelas” jelas Alvin cuek sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutku. Awalnya aku menolak, tapi Alvin berhasil memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulutku. Kembali aku cemberut menatapnya.
“udah ah jangan cemberut gitu. Daripada ntar loe sakit. Udah yuk gue anterin ke kelas, ntar telat lagi”
***
“yang ini aja, Vin!!!” seruku sambil menunjuk sebuah gantungan kunci berbentuk boneka angry bird.
“heh demen banget sama angry bird. Ngga ah yang lain aja” tolak Alvin cuek sambil berjalan menyeretku keluar dari stan yang belum sampai lima menit kami masuki. Aku mengerucutkan bibir.
“kenapa sih cemberut mulu dari tadi?!” tanyanya sok polos. Uuurrrggghhh kau ini pura-pura bodoh atau apa sih?! Kan gara-gara kamu aku cemberut begini!!! Batinku sambil menatap jengkel kearahnya.
“hahaha iya deh iya gue minta maaf. Yaudah, loe sekarang mau kemana?!” tanyanya sambil tertawa geli. Tuh kan, dasar Alvin nyebelin!!!
“ke tempat yang banyak angry birdnyaaa!!! Mau beli semuaanyaaaaa!!!” sahutku riang sambil merentangkan kedua tangan. Tiba-tiba Alvin menarik sikuku, membuatku sedikit kaget atas perlakuan mendadaknya. Tanpa kentara kami bergantian posisi, aku sekarang berada di sisi dalam jalan. Aku menatapnya sambil mengernyitkan kening. Heran.
“loe itu berdiri ketengahan, tadi ada motor, telat dikit kesenggol loe, mau?!” jelasnya, seakan menyadari raut bingung di wajahku. Aku memalingkan wajah, menatap sepeda motor yang tadi hampir menyerempetku, lalu berbalik menatapnya.
“sama-sama” ujarnya sambil memasang wajah coolnya dan memasukkan salah satu tangan ke saku celana. Tangan yang lain merangkul lembut bahuku. “sekarang mau kemana?!”
***
Ketika lagi-lagi caramu membuatku merasa bahagia
Ketika lagi-lagi tingkahmu membuat hariku sempurna
Ketika lagi-lagi kau terasa begitu… istimewa
“neh yaa begini neh caranya, pertama ini dilipat kesini, trus lipat lagi kesini, trus…” Alvin sibuk mengoceh tentang cara membuat perahu kertas. Sekarang kami lagi ada di sungai tak jauh dari SMA Victory, kebetulan guru-guru pada rapat dan penyakit males pulang kumat, jadi deh aku langsung narik Alvin kesini.
“ah tau ah ribet” keluhku malas lalu menyandarkan diri ke bahunya dan memejamkan mata untuk menikmati sensasi tenang yang mulai merasuki seluruh tubuhku. Aku selalu suka tempat ini. Rasanya damai, menenangkan, dan sekarang… tempat ini terasa begitu membahagiakan. Seulas senyum tipis tersungging di bibirku menyadari penyebab tempat ini terasa membahagiakan. Apa lagi kalo bukan…
“eh, dengerin gue ngga sih?! Malah tidur loe!!!” sungut Alvin kesal. Ah, selalu saja begini. Mengganggu ketenanganku saja kau, Alvin!!!
“heh banyak bacot yaa loe?! diem bentar deh ngga usah gerak-gerak, gue udah PW neh!!!” balasku tak kalah kesal. Saat aku akan mencoba memejamkan mata kembali, Alvin kembali bergerak-gerak sambil mengangkat kepalaku.
“berat tau!!!” sungutnya saat mengangkat kepalaku. Aku mengerucutkan bibir. Sebal.
“ah loe gitu amat” sungutku sebal sambil tetap mengerucutkan bibir. Dia terkekeh kemudian tangan kokohnya terangkat untuk mengacak lembut rambutku. Dalam diam aku menikmati saat-saat bersamanya seperti sekarang ini.
“hahaha gitu aja ngambek. Neh punya loe, udah jadi” Alvin menyerahkan sebuah perahu kertas ke hadapanku, membuatku langsung menyambutnya senang dan tersenyum ceria.
“aaa makasih Alvin. You are d’best deeehh laaafffyuuu muahmuah” kataku senang sambil memberinya kissbye.
“wooiyaaa Alvin gitu lho hahaha”
“trus, sekarang diapain?!” aku bertanya sambil menampilkan wajah polosku. Alvin terlihat menggeram kesal, tapi bodo deh hahaha.
“tadi kan udah gue jelasin, makanya jangan tidur kalo orang lagi ngomong” yeee si Alvin malah ngomel, kaya emak-emak deh hahaha ._.v
“yaa abis tempatnya adem sih jadi bawaannya kepengen tidur mulu” ujarku ngeles.
“yayaya terserah loe deh. Sekarang kita hanyutin ne perahu kertas ke sungai ini” jelasnya lalu beranjak menuju tepi sungai. Aku mengikutinya dengan kening berkerut. Saat dia hendak menghanyutkan perahu kertas miliknya, aku buru-buru menahan tangannya.
“kok dihanyutin?! Ntar basah dong perahunya” tanyaku, lagi-lagi dengan nada dan wajah polosku.
Alvin mendecak kesal. “loe bener-bener ngga denger apa kata gue tadi yaa?!”
Aku menggeleng sambil tersenyum manis.
“aduh gini yaa Nona Sivia Azizah yang manis nan cantik tapi bawel dan pelupa!!!” aku yang awalnya tersenyum manis saat dia memanggilku ‘manis nan cantik’ mendadak cemberut saat dia menyebutku ‘bawel dan pelupa’. Tapi melihat raut kesal di wajahnya mengurungkan niatku untuk menyela penjelasannya. Lagian, aku suka melihat wajah kesalnya sekarang, jadi tambah ganteng, hihihi ._.v
“tadi kan loe bilang loe lagi gondok sama si Ify karna ninggalin loe buat jalan sama pacarnya, loe malah ajak gue kesini. Loe bilang loe pengen ngilangin semua kesal loe, kan?!” dia berhenti menjelaskan, dan menatapku yang masih terdiam. Aku langsung mengangguk cepat saat menyadari arti tatapannya yang kurang lebih loe–masih–dengerin–gue–ngomong–kan– atau mungkin loe–ngerti–ngga–apa–yang–gue–bilang–tadi?! Atau bisa jadi loe–inget–ngga?! eh kenapa aku malah bahas ini sih?!
“ah iya gue inget sekarang hehehe” ujarku sambil tersenyum dan memamerkan deretan gigi putihku.
“loe tuh yaaa” sekarang tangannya malah mencubit hidungku.
“ish main cubit aja. Neh rasain neh rasain rasain!!!” aku balas mencubit pinggangnya. Dia meringis sejenak sebelum tertawa geli.
“oh mulai berani yaa sama gue?! Gue kelitikin nyahok loe” dan tangannya benar-benar menggerayangi pinggangku, membuatku langsung menggeliat geli dan berusaha melepaskan diri dari agregasinya. Aku berlari saat berhasil lepas dari gelitikannya dan langsung menjulurkan lidah mengejek.
“wleee ngga kena ngga kena ngga kena wleee” ledekku sambil terus berlari.
“ngeledek gue neh ceritanya?! Okee awas yaaa ketangkep!!!”
“ngga takut!!! Wleee hahaha” dan niat menghanyutkan perahu kertas itupun hilang dengan sendirinya. Tanpa perlu menghanyutkan perahu kertas ke sungai, perasaanku sekarang sudah mulai membaik, dan itu karna kau, Alvin…
***
Tak sadarkah kau betapa hancurnya perasaanku
Saat kau hanya menganggapku… teman?!
“hahaha aduh udah deh, Vin, sakit perut neh gue dari tadi ketawa mulu, hahaha” seruku sambil berusaha meredam tawa. Alvin yang duduk disampingku malah terlihat memegang perut dengan kedua tangannya.
“habisnya…”
“Alvin udah, gue udah ngga kuat lagi ketawa neh” seruku berusaha memotong pembicaraan Alvin. Alvin hanya diam sambil tersenyum menatapku. Ditatap seperti itu oleh Alvin tentu saja membuat darahku berdesir hebat. Aku langsung mengalihkan pandangan dengan wajah memerah kearah ribuan bintang yang berkelip manja di atas sana.
Hening sejenak. Aku memejamkan mata untuk menikmati saat-saat bersamanya sekarang ini. Begitu tenang, damai, aman, dan bahagia. Perlahan senyum mulai tercipta di bibirku.
“Vi, gue naksir cewek neh” kata Alvin tiba-tiba, membuatku langsung beralih menatapnya, bingung, dan sakit hati?! Entahlah.
“ohya?! siapa?!” tanyaku berusaha terdengar biasa aja.
“gue baru kenal dia dua tahun ini sih, tapi kayanya gue udah kenal lama banget sama dia. Ada di dekat dia bikin gue ngerasa seneng banget, apalagi saat dia mulai senyum sama gue, ketawa bareng sama gue. Dia selalu bikin gue pengen ngelindungin dia setiap saat. Dia bisa bikin semua beban gue seakan hilang hanya dengan semua tingkah lucunya. Dia…” Alvin terus saja menceritakan sang gadis pujaannya sambil sesekali tersenyum kecil. Aku hanya bisa memandangnya nanar. Melihat betapa dia begitu membanggakan gadis itu membuat hatiku sakit, serasa dihujam seribu pedang, tepat di ulu hati. Dan itu terasa sangat… menyakitkan. Perlahan mataku mulai mengabur, tapi aku buru-buru mengerjapkan mata agar bola-bola kristal itu tidak meluncur turun membasahi pipi chubbyku. Setidaknya tidak di depannya.
“ohya?! pasti tu cewek beruntung banget bisa dapetin hati loe” ujarku berusaha untuk terlihat senang untuknya.
“loe mau tau siapa dia?! Dia…”
“Vin, gue mau pulang, udah ngantuk banget neh, lagian ini juga udah malem, takutnya Mama nyariin” aku buru-buru memotong ucapannya, merasa tak sanggup untuk mengenal sosok gadis pujaan Alvin.
“loe kenapa, Vi?! Loe nangis?!” tanyanya heran bercampur khawatir saat tak sengaja aku menatap matanya dengan nanar.
“ngga, gue kelilipan. Yuk balik sekarang” tanpa memedulikan reaksinya, aku menuruni tangga dan berjalan menuju Vios hitamnya yang terparkir tak jauh dari rumah pohon tempat kami bersantai tadi. Dalam diam, aku berusaha menghalau semua sesak yang tiba-tiba menghampiri. Aku menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak menangis terisak, setidaknya tidak disini.
Harusnya aku sadar sejak dulu. Alvin hanya menganggapku teman, tak lebih. Aku tidak akan mungkin bisa mencuri hati Alvin sebagaimana dia telah mencuri hatiku. Mungkin aku hanya ditakdirkan untuk menjadi pencinta sejati tanpa perlu menuntut untuk memiliki. Mungkin aku hanya ditakdirkan untuk mencintai tanpa berharap untuk dicintai. Tapi kenapa rasanya… menyakitkan?! Sangat menyakitkan… aku sampai lebih memilih mati daripada merasakan sakit yang tak kunjung hilang ini. Oh Tuhan…
***
Terlalu perih luka yang kau torehkan
Membuatku merasa tak sanggup untuk selalu ada di dekatmu
Hingga suatu saat kau kembali
Kembali menimbulkan rasa yang dulu pernah ada
Bolehkah ku berharap kau juga merasakan hal yang sama?!
Aku mengedarkan pandangan ke sebuah gedung sekolah yang sejak lima tahun ini kutinggalkan. Senyum mulai terpeta di wajahku seiring dengan langkah kakiku yang perlahan mulai memasuki gedung SMA Victory yang selama dua tahun pernah akrab denganku ini.
Kakiku menyusuri koridor demi koridor, ruang kelas demi ruang kelas, hingga terhenti di sebuah koridor. Serpihan kenangan itu mulai bermunculan, merangkai puzzle kisah yang sampai sekarang tak kuketahui akhirnya. Aku menghela napas menyadari betapa sang waktu bahkan tak sanggup menghilangkan sosoknya dalam pikiranku. Setitik air mata tanpa sadar mulai jatuh di pipi chubbyku, membuatku tersadar dan mengusap pelan pipiku. Aku akan menarik napas saat tiba-tiba aku merasa ada yang merengkuhku dari belakang. Saat aku hendak berontak, sosok yang tengah merengkuhku dari belakang ini malah semakin erat memelukku. Beberapa kata yang keluar dari bibirnya sanggup membuatku membeku.
“gue kangen banget sama loe, jangan pergi dari gue lagi, yaa?!” bisiknya lirih di telingaku. Aku tertegun. Ini kan…
“Alvin?!” sahutku tak percaya sambil membalikkan badan. Tatapanku langsung bersibobrok dengan mata teduh milik Alvin yang kini menatapku sendu.
Tangan kokoh Alvin terangkat untuk memegang lembut kedua pipiku, memaksaku untuk terus menatap mata teduhnya.
“kenapa loe pergi ninggalin gue?!” tanyanya, sedikit terdengar frustasi.
“gue…” lidahku kelu, terlebih saat melihat tatapan sendu Alvin. Aku merasa… tercabik. Apa keputusanku meninggalkanmu salah?! Apa kepergianku membuatmu menderita?! Tapi, aku hanya tak ingin melihatmu bermesraan dengan gadis lain, terutama dengan gadis pujaanmu. Aku tak ingin mendengar ceritamu tentang gadis itu. Aku tak kuat. Apa aku salah meninggalkanmu?!
“loe ngga tau betapa frustasinya gue saat loe mendadak ngilang dari kehidupan gue?! loe ngga tau betapa kacaunya hidup gue ngga ada loe?!” cercanya sambil terus menatapku sendu. Aku menundukkan pandangan, tak kuasa menatap mata teduhnya yang kini terlihat begitu rapuh di depanku. Aku merasa begitu… jahat. Jahat karena telah menyakiti Alvin, orang yang slama ini mengisi takhta hatiku.
“gue…” lagi, lidahku terasa kelu, tak sanggup untuk mengeluarkan ribuan kata yang sudah tersusun rapi di pikiranku. Otakku mendadak kosong saat dia tiba-tiba menarikku dalam pelukan dan mendekapku erat.
“gue sayang banget sama loe. Please, jangan tinggalin gue lagi. Gue ngga bisa hidup tanpa loe” akunya lirih di telingaku, tapi sanggup membuatku merasa seakan dialiri listrik seribu volt. Tadi, Alvin bilang kalau dia…
“loe…”
“cewek itu loe, Via. Loe yang slalu bikin hari-hari gue terasa begitu sempurna. Loe yang slalu bikin gue ngerasa pengen ngejagain seseorang, dan orang itu loe. Loe yang slalu bikin gue kacau saat gue ngeliat loe nangis. Loe yang bikin gue ngerasa kaya orang gila karna loe ninggalin gue. Dan loe yang bikin gue jatuh cinta lagi sama cewek, dan cewek itu loe, Via. I love you more than you know, Sivia Azizah”
Tanpa bisa dicegah, air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mataku mengalir dengan sendirinya. Belum pernah aku merasa sebahagia ini seumur hidupku. Aku hanya mempererat pelukanku tanpa sanggup mengeluarkan sepatah katapun.
“jangan tinggalin gue lagi, yaa?!”
-the end-
Thanks for read! Keep RCL! ;)