Missed~
“MAMA!!!” seorang anak kecil berlari menuju ruang makan dimana seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh lima tahun telah menunggunya.
“pagi, sayang” sapa si wanita begitu anak kecil tadi udah duduk di kursi disamping wanita itu.
“pagi, Mama” balasnya sambil tersenyum manis.
“kok tumben udah bangun?! Padahal Mama baru aja mau bangunin Afi” tanya wanita itu lembut kepada Afi –anak kecil tadi, tepatnya Afika– sambil membelai lembut rambutnya.
“Api itu lho, hhehehe” anak kecil tadi menepuk dadanya bangga.
“iya deh, anak Mama emang paling hebat. Gimana tidurnya sayang?! Maaf yaa, semalam Mama pulangnya telat, Afi jadi tidur sendirian” sesal wanita itu.
“Api ngga cendili ko Ma, kan ada Oom Lay” jelas Afika polos, membuat wanita tadi tersenyum. Ah iya, bagaimana ia bisa lupa keberadaan adiknya yaa?!
“Yaudah, cepetan minum susunya, Mama antar ke sekolah” wanita itu langsung menghabisi segelas susu putih yang ada di depannya, bangkit dan mengambil tas tangannya lalu berjalan menuju Jazz putih yang terparkir di garasi rumah minimalis mereka.
“KAK VIA TUNGGUIN!!!” seru seorang cowok gondrong berbalut seragam putih abu-abu pada Via –wanita tadi– dan berlari terengah-engah menghampiri kakaknya.
“buruan, Ray, telat neh, masak loe kalah sama anak kecil” ledek Via sambil membuka pintu mobil untuk Afika.
“yeee emang Afinya aja yang kepagian bangun, biasa juga jam segini masih ngorok” elak Ray yang kemudian membuka pintu belakang Jazz putih Via.
“enak aja, emang acal Oom Lay aja yang kebo, wleeee” Afika ikut-ikutan mengelak dari tuduhan Ray, bikin Via geleng-geleng kepala.
“udah udah, pagi-pagi udah ribut aja. Ray, ntar loe pulang sendiri yaa, gue ngga bisa jemput ntar, ada operasi jam dua” jelas Via sambil mengarahkan mobil ke kompleks sekolah Afika dan Ray, Permata Schools. TK, SD, SMP, dan SMA Permata emang terletak dalam satu kompleks, sehingga Via langsung menyekolahkan Afika di tempat yang sama dengan Ray, agar adiknya itu bisa sesekali memantau anak gadis kesayangannya.
“iya, ntar juga gue mau ke bengkel, cagiva gue udah selesai di servis”
“jangan lupa jemput Afi di rumah sakit ntar”
“iya, bawel”
***
Via terlihat sibuk dengan setumpuk berkas pasien di depannya. Sesekali keningnya berkerut membaca hasil laporan dari beberapa pasiennya.
“Mama, Oom Lay mana ko belum jemput Api?!” seruan Afika membuyarkan konsentrasi Via dengan laporan kesehatan dari pasiennya. Via menatap anaknya dan menurunkan kacamata tanpa frame yang sedari tadi bertengger di wajahnya.
“bentar lagi kok sayang. Afi udah bosen yaa?!” Via menghampiri Afika yang duduk di sofa dengan tampang cemberut.
“iya, abis Mama ali adi nyuekin Api mulu cih” ujarnya cemberut, bikin Via sedikit menarik sudut bibirnya.
“hhehehe maafin Mama yaa sayang, lagi sibuk banget neh. Yaudah, Mama temenin ke depan aja yaa, kita nunggu Oom Ray disana, yaa?!” ajak Via berjalan kembali ke mejanya lalu melepas jas dokternya.
“oceee” Afika tersenyum senang dan mulai membereskan tas ranselnya lalu berlari menyusul Mamanya keluar ruangan.
“Afi tunggu bentar yaa, Mama angkat telpon dulu, jangan kemana-mana sampe Oom Ray jemput, yaa?!” Via memperingatkan Afika saat mereka udah nyampe di depan rumah sakit sambil mengeluarkan ponselnya yang terus menjerit sedari tadi.
“iyaaa Mama” Afika mengangguk dan duduk di salah satu kursi yang ada di depan rumah sakit, memperhatikan Via yang perlahan mulai menjauh dari pandangannya, masuk kembali ke dalam rumah sakit.
Lamat-lamat Afika mendengar suara Mamanya berbicara dengan seseorang di telpon dengan nada gusar. Pasti Eyang, pikir Afika sedih. Afika tau Eyang –Ibu dari Mamanya– ngga pernah suka dengan dirinya, tampak dari raut wajah penuh kebencian tiap kali wanita tua itu memandangnya. Tapi Afika ngga tau kenapa Eyang bersikap seperti itu.
“adik kecil kok sendirian?!” teguran seorang laki-laki muda –mungkin seumuran Mamanya– membuyarkan lamunan Afika tentang Eyangnya. Afika berbalik menatap lelaki muda itu. Lelaki putih berwajah oriental dengan kemeja biru kotak-kotak dan jas hitam yang dilipat sesiku.
“Api nungguin Oom Lay jemput” jelasnya polos, membuat lelaki muda itu tanpa sadar tersenyum gemas.
“emang Mamanya kemana?!” tanya lelaki itu sambil berjongkok di depan Afika. Herannya, Afika sama sekali ngga takut dengan kehadiran lelaki itu, padahal Afika cenderung takut dengan orang asing yang ngga dikenalnya.
“Mama macuk ke cana” Afika menunjuk ruang masuk menuju rumah sakit tempat Mamanya bekerja.
“Mamanya sakit?!” tanya lelaki itu lagi, dengan raut wajah khawatir tentunya.
“haa?! Ngga, Mama Api ngga cakit, Mama Api dotel, ngobatin olang cakit” jelasnya, kembali dengan raut polosnya yang membuat gemas lelaki muda tu.
“Oom cendili ko dicini?! Cakit yaa?!” tanya Afika. Pikiran anak kecilnya mengatakan, orang yang datang ke rumah sakit pasti sakit, tapi Mamanya pengecualian.
“ngga, Oom jenguk temen kok disini. Nah tuh dia, yaudah, Oom tinggal yaa. Hati-hati disini, jangan kemana-mana sampe ada yang jemput, yaa?!”
“iyaa” Afika mengangguk dan tersenyum manis, membuat lelaki tadi ikutan tersenyum dan mengacak lembut rambut Afika, lalu menyusul temannya yang sudah menunggunya.
“Afi ngobrol sama siapa tadi?!” tanya Ray yang tau-tau udah nongol disamping Afika. Afika menoleh dan menatap Ray.
“Api lupa nanya namanya” jelas Afika polos, bikin Ray mengernyitkan kening heran. Kaya kenal deh,batin Ray sambil memandangi punggung lelaki itu, lelaki yang tadi berbicara dengan Afika. Perasaan gue aja kali yaa?! Batin Ray lagi, seolah menyanggah ingatannya.
“yaudah yuk pulang, kita makan eskrim, neh barusan Oom ada beli eskrim buat Afi” ajak Ray seraya menggandeng Afika menuju cagivanya yang terparkir di halaman parkir rumah sakit.
Sementara itu Via yang sedang menelpon lamat-lamat mendengar suara Afika berbicara dengan seseorang. Saat dia berbalik, Afika dan orang itu udah ngga keliatan lagi. Tapi kenapa batin Via mengatakan bahwa orang yang berbicara dengan Afika tadi adalah orang yang slama ini dia rindukan?!
***
“lho, Afi?! Kok disini?!” seorang lelaki muda turun dari mobil Vios hitamnya dan berjalan menghampiri Afika yang duduk sendirian menunggu jemputan di TK Permata.
“nunggu Mama jemput” jawab Afika dan menepuk tempat kosong disebelahnya. “duduk cini, Oom, temenin Api. Api takut cendilian” jelasnya saat melihat raut bingung di wajah lelaki itu. Lelaki tadi tersenyum dan langsung duduk di sebelah Afika.
“Oom ciapa?! Dali kemalen kita ngobol tapi Api ngga tau nama Oom”
“nama Oom Al … eh bentar yaa, Afi, Oom angkat telpon dulu, jangan kemana-mana sampe Mamanya jemput ato Oom balik lagi kesini, okee?!”
“beleeeeesss!!!”
Tepat saat lelaki itu menjauhi Afika, Via datang dengan Jazz putihnya dan langsung menghampiri Afika.
“Afi maaf yaa Mama telat jemput, tadi lagi ada pasien. Afi ngga apa-apa?! Ngga takut nunggu sendirian disini?!”
“tadi Api ditemenin Oom yang watu itu”
“Oom yang waktu itu?! Siapa?!”
“Oom Al” jawab Afika polos. Via terhenyak. Al?! apa mungkin?! Ngga!!! Ngga mungkin!!! Ngga mungkin itu dia!!! Banyak orang punya nama Al, ngga cuma dia, itu cuma pikiran gue doang, iya pikiran gue doang. Dia ngga mungkin ada disini, batin Via gusar.
“yaudah, kita ke rumah sakit sekarang yuk” Via menggamit lengan Afika.
“ngga nunggu Oom itu dulu, Ma?!”
“Mama lagi banyak kerjaan neh sayang. Kapan-kapan aja yaa?!”
“yaaahh Mama” keluh Afika lalu membuka duduk di samping Via. Saat Jazz putih yang dikendarai Via meninggalkan kompleks Permata Schools, lelaki muda tadi berbalik dan menyadari Afika udah ngga ada di tempatnya.
“mungkin dia udah dijemput Mamanya kali” ujar lelaki muda tadi lalu masuk kembali ke Vios hitamnya dan melajukannya ke arah yang berlawanan dengan Jazz putih yang dikendarai Via.
***
“ka…kamu?!”
“iya, ini aku. Aku kembali, buat kamu, buat Afika”
“tapi…”
“maafkan aku karna telah meninggalkanmu, aku…”
“NGGAAA!!! PERGIIIII!!! AKU NGGA BUTUH KAMU!!!”
Via mengerjap. Peluh mengucur di sekujur tubuhnya. Secepat kilat dia memandang sekelilingnya dan langsung menghembuskan nafas lega. Cuma mimpi, batinnya lega. Pandangannya beralih ke seluruh sudut kamarnya. Kosong, sepi, hanya ada dirinya di kamar ini. Afika pasti udah tidur di kamarnya. Tiba-tiba pandangannya terantuk pada sebuah figura foto yang terletak di sudut tersembunyi di kamarnya.
Cukup lama Via memperhatikan foto itu, hingga akhirnya dia menghela napas, menghalau sesak di dada, dan merebahkan diri, mencoba untuk tidur kembali. Semoga sosok itu tidak kembali lagi di kehidupannya seperti yang terjadi dalam mimpinya. Tapi Via sendiri tau, yang sebenarnya dia inginkan adalah kehadiran sosok itu. Sosok yang telah meninggalkannya lima tahun lalu. Sosok yang meninggalkannya dalam luka dan kesedihan mendalam.
***
“Ma, Ma, ali ini Api ketemu Oom Apin agi lhoo. Ohya nama Oom itu Oom Apin” lamat-lamat Via mendengar celotehan Afika. Tapi dia tidak mempedulikannya, karna sedang sibuk dengan semua laporan kesehatan dari pasien-pasiennya.
“Oom Apin baik banget lhoo, Ma. Adi Api dibeliin eklim cama dia” Afika masih berceloteh riang, sementara Via masih sibuk berkutat dengan kertas-kertas di depannya.
“Oom Apin ganteng, baik. Api pengen punya papa kaya Oom Apin” lagi-lagi Afika berceloteh tanpa diperdulikan Via.
“Ma, papa Api mana cih?! Kok Api ngga penah liat?! Temen-temen Api kalo pulang celalu dijemput Papanya, Api ngga penah dijemput Papa” Afika mulai bertanya serius, yang sayangnya lagi-lagi ngga digubris Via.
“MAMA!!!” kali ini Afika berteriak, dan berhasil membuat Via mendongak dan menatapnya bingung.
“kenapa sayang?!” tanya Via polos.
“Mama ngga dengelin Api celita yaa?!” tanya Afika curiga. Via hanya nyengir mendengar kecurigaan Afika.
“hhehehe maaf yaa sayang, Mama lagi sibuk banget neh. Emang tadi Afi cerita apa?!” tanya Via, kali ini sambil melangkah mendekati Afika dan berlutut di depannya.
“tau ah, mama ngga acik, Api celita dicuekin. Api ngambek cama mama” Via tertawa melihat tingkah polos anaknya.
“Afi kok gitu sih?! Mama traktir eskrim, mau?!” tawar Via.
“mauuuuuuu”
***
“OOM APIIIIIIIIIINNN!!!” teriak Afika saat matanya menangkap sosok lelaki muda berwajah oriental yang sedang berjalan bersama lelaki muda hitam manis. Afika berlari kecil menghampiri orang yang dipanggilnya Oom Apin itu.
“hei, Afi. Ketemu lagi neh. Sama siapa?!” tanya lelaki itu ramah sambil berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Afika.
“cama Mama” jawab Afika. Binar semangat dan keceriaan terpancar jelas di wajahnya, membuat lelaki yang berjongkok di depan Afika ikut tersenyum.
“Mamanya mana?!”
“tuh, beli eklim dicana” Afika menunjuk sebuah kedai eskrim tak jauh dari tempat mereka sekarang. Samar-samar lelaki yang berjongkok didepan Afika melihat sesosok wanita membelakangi mereka di kedai yang ditunjuk Afika.
“kamu ngga kesana?! Ntar dicariin Mamanya lhooo”
“Api mau ngenalin Oom cama Mama, yuk Oom” saat tangan kecil Afika berniat meraihnya, lelaki itu terlebih dulu menahan tubuh kecil Afika sambil mengusap pelan rambutnya.
“aduh maaf yaa Afi, sekarang Oom lagi buru-buru, ada meeting sama klien. Kapan-kapan aja yaa?!” ujar lelaki itu serbasalah. Saat melihat raut kecewa Afika, lelaki itu tambah merasa serbasalah.
“yaaahh… yaudah deh, Api nyampelin Mama dulu yaa, dadah Oom Apin” Afika mengecup singkat pipi lelaki itu sebelum akhirnya berlari ke tempatnya semula.
“siapa, Vin?!” tanya lelaki hitam manis yang sedari tadi bersama lelaki berwajah oriental itu.
“Afika, anak kecil yang dulu gue temenin pas nunggu loe itu lho” jelas lelaki yang dipanggil ‘Vin’ itu.
“kayanya loe akrab banget sama dia” ujar lelaki hitam manis itu. Lelaki berwajah oriental itu hanya mengangkat bahu dan meneruskan langkah dengan cuek.
Sementara itu, Via baru aja keluar dari kedai eskrim saat mendapati Afika tidak ada di tempat tadi dia meninggalkannya.
“A…”
“MAMAAA!!!”
“Afi!!! Darimana aja sih?! Kan Mama udah bilang jangan kemana-mana, kebiasaan deh yaa” omel Via saat Afika udah di dekatnya. Dia menyerahkan satu eskrim di tangannya kepada Afika.
“tadi Api ketemu Oom Apin” jelas Afika polos, membuat Via langsung batuk-batuk ngga karuan.
“Oom… Oom Apin?!” tanyanya memastikan. Afika mengangguk polos.
“siapa Oom Apin?!”
“itu lhooo Oom yang celing nemenin Api nungguin Mama. Tuh olangnya, yang pake baju melah” kali ini Afika menunjuk sosok lelaki yang tadi menemaninya.
Via memandang sosok lelaki yang ditunjuk Afika, tanpa sadar tubuhnya menegang. Ngga mungkin!!! Batinnya.
***
“tumben loe ngajak ketemuan. Ada apa?!” tanya Ify, teman dekat Via, saat Via mengajaknya makan siang bareng di café langganan mereka dulu.
“Alvin kembali…” desis Via lirih. Ify terkejut, tanpa sadar tubuhnya menegang.
“Alvin?! Alvin Pradipta?! Papa…”
“DIA BUKAN PAPA AFIKA!!!” potong Via tajam.
“Via, sekeras apapun loe berusaha membuang masa lalu loe, ngga akan bisa menghapus kenyataan bahwa Alvin adalah papa Afika”
“Afika ngga butuh Papa!!!”
“Via…”
“kenapa dia harus kembali saat gue udah mulai bisa bangkit?! Kenapa dia harus kembali saat gue udah mulai ngelupain dia?! Kenapa dia harus kembali saat gue udah bahagia sama Afika?! Kenapa?!” kali ini Via meracau, membuat Ify menatapnya iba. Sebenarnya Ify tau apa yang sedang dirasakan Via, sebuah dilemma yang selama lima tahun terakhir ini selalu menghantui kehidupannya. Sayangnya ngga ada satu orang pun yang bisa membantu Via memecahkan dilemma itu, selain dia, Alvin Pradipta, lelaki yang selama ini dicintai dan mencintai Via. Sayangnya Via ngga sadar dan ngga mau menyadari hal itu. Dia langsung menutup hatinya rapat-rapat dari semua yang berbau laki-laki.
“loe ngga usah muna deh Vi. Gue udah kenal loe dari kecil, gue tau loe sebenernya masih sayang sama dia”
“…”
“gue tau sejujurnya slama ini loe selalu ngarep dia balik ke loe”
“tapi dimana dia saat gue perlu dia?! Dimana dia saat gue bersusah payah ngelahirin dan ngebesarin Afika?! Dimana dia saat Afika nanya siapa papanya?! Dimana dia?! DIMANA?! DIA NGGA ADA, FY!!! GUE SENDIRIAN!!!” kembali Via memekik histeris. Untung saja suasana café sedang sepi, dan mereka memilih tempat yang cukup jauh, sehingga tidak mengundang tatapan marah para pengunjung café lainnya.
“gue yakin al…”
“JANGAN SEBUT NAMANYA DIDEPAN GUE!!!”
“oke fine” serah Ify. “gue yakin dia punya penjelasan untuk itu”
“gue ngga mau denger penjelasan apapun. Gue udah cukup sakit hati”
***
“loe serius, Fy?! Jadi, anak kecil yang sering gue temuin itu, anak gue?! Afi anak gue?!” tanya lelaki oriental itu tak percaya. Matanya menatap tak percaya kepada wanita cantik yang duduk didepannya –Ify– dengan seorang lelaki hitam manis disampingnya.
“buat apa gue becanda, Vin?! Emang loe ngga bisa ngerasain yaa kalo Afika itu anak loe?!” tanya Ify balik pada lelaki oriental itu. Alvin. Papa Afika.
“pantes dari awal gue kayanya udah deket banget sama Afi, dan wajahnya, tingkah lakunya, ngga asing buat gue. Gue baru nyadar dia ngingetin gue sama Via” jelas Alvin, sambil berusaha mengingat memorinya saat bersama Afika beberapa hari lalu, dan membandingkannya dengan Via, sosok yang sampai saat ini masih mengisi tahta tertinggi di hatinya. Alvin tersenyum miring saat menyadari begitu banyak persamaan yang dimiliki keduanya.
“gue cuma mau ngasih tau, sekeras apapun Via nolak,sebenarnya dia rapuh, Vin. Dia perlu loe banget. Jadi tolong, jangan tinggalin dia lagi. Udah cukup dia menderita lima tahun ini. Kembali sama dia, Vin” pinta Ify setengah memelas sama Alvin.
Alvin langsung mengangguk semangat mendengar permintaan Ify. Tanpa dimintapun dia tetap akan melaksanakan apa yang dipinta Ify, karna memang itulah tujuannya kembali ke Jakarta.
“gimana dengan, Shilla?!” Rio, sosok lelaki hitam manis yang sedari tadi diam, mulai angkat bicara, membuat Alvin menepuk jidatnya, seakan baru mengingat bahwa ada sosok lain dalam hidupnya. Sosok yang membuatnya terpaksa meninggalkan gadis kesayangannya selama lima tahun ini.
“Shilla?! Siapa dia?!” tanya Ify bingung.
“dia, cewek yang dijodohin sama Alvin. Alasan Alvin meninggalkan Via. Dan mereka akan menikah bulan depan”
***
Mereka akan menikah minggu depan
Via menatap Ify nanar. Meski dia sudah bisa menduganya, tetap saja hatinya tak bisa menerima. Shock. Kecewa. Sedih. Sakit hati. Harusnya waktu itu dia tidak mendengarkan kata-kata Ify. Harusnya waktu itu dia tetap pada pendiriannya. Harusnya waktu itu dia tidak membiarkan hatinya berharap. Harusnya… Harusnya…
“Via…” Ify memanggil Via lirih, memandang sahabat kecilnya ini khawatir. Tidak seharusnya dia memberitahukan tentang Shilla dan Alvin kepada Via. Dia tau bahwa Via udah mulai membuka hatinya untuk Alvin, karna lelaki oriental itu selalu mengunjunginya dan Afika saat dia sedang tidak sibuk. Saat mengetahui bahwa Afika adalah anaknya, Alvin jadi lebih sering mengajak Afika bermain, dan nampaknya Via juga ngga mempermasalahkan hal tersebut. Hubungan keduanya juga udah mulai membaik. Tapi sekarang dia malah menghancurkan semuanya.
Tadi dia dan Via lagi jalan di mall, saat tiba-tiba pandangan Via bertemu dengan sesosok lelaki yang bergandengan tangan dengan seorang wanita. Saat pandangan mereka bertemu, Via merasa dunianya terhenti seketika. Seakan ada bom atom yang akan meledakkan hatinya untuk kedua kali. Apalagi saat dia mendengar Ify menyebut nama ‘Shilla’. Via langsung memaksa Ify untuk menceritakan hubungan antara Alvin dan Shilla. Dan beginilah yang terjadi.
“gue emang bego, Fy. Bego banget. Alvin ngga mungkin balik lagi sama gue. Dia pasti jijik sama janda beranak satu kaya gue. Dan Shilla jelas-jelas lebih pantas buat dia” bisik Via lirih. Hatinya sesak, jauh lebih sesak saat Alvin meninggalkannya dalam kondisi hamil lima tahun lalu. Ribuan jarum menancap di hatinya, membuatnya hancur berkeping-keping.
“Via…”
“bodoh banget gue. Alvin jelas-jelas ngga bakal mau sama gue. Dia cuma seneng main sama Afika, karna dari dulu dia emang seneng sama anak kecil. Dia pasti gitu sama semua anak kecil lainnya. Ngga ada yang istimewa dari perlakuannya ke Afika. Semuanya wajar. Gue aja yang salah tanggap. Gue yang terlalu berharap sama dia. Gue…”
“Via udah… stop, please. Ngga usah kaya gini. Gue ngga bisa liat loe hancur kaya gini” ujar Ify frustasi saat melihat kondisi Via.
“gue emang bego banget Fy. Goblok banget” Via tertawa miris. Ify langsung memeluk Via, ngga kuat melihat sahabat kecilnya kembali hancur untuk yang kedua kali.
***
“TANTE IPIIII!!!” teriak Afika saat dia memasuki halaman rumah Ify.
“eh ada Afi. Tumben main kesini, sama siapa?!” tanya If sambil menggendong Afika. Afika langsung menunjuk Ray yang berjalan dibelakangnya.
“kak, gue mau nitip Afika disini, buat malam ini aja, bisa?!” pinta Ray tiba-tiba. Ify mengernyitkan kening heran.
“kenapa?! Emang Via kemana?!” tanya Ify lagi.
“kak Via masuk RS, ngedrop, gara-gara cowok brengsek itu” ujar Ray dingin, sarat kebencian, membuat Ify langsung menatapnya khawatir. Dia cukup mengenal Ray, adik kesayangan Via yangoverprotective sama Via. Kalo wajah Ray udah serem begini, jangan-jangan…
“loe mau kemana?!” tanya Ify mencekal tangan Ray.
“gue mau beri pelajaran sama tu cowok brengsek!!! Seenaknya aja mainin hati kakak gue!!! gue ngga akan biarin satu orangpun bikin kakak gue menderita!!!” ujar Ray, tetap dingin.
“tapi…”
“udah deh kak. Gue nitip Afika yaa, besok pagi gue ambil lagi”
Ify langsung menghubungi Rio saat Ray berlalu dari rumahnya. Dia khawatir Ray kalap dan… Ify ngga bisa bayangin apa yang bakal terjadi ntar.
“hallo?!”
“halloo, Yo. Kamu lagi sama Alvin?!” tanya Ify langsung. Nada cemas jelas terdengar di suaranya.
“iya, emang kenapa?!”
“bilang Alvin hati-hati, adeknya Via nyariin dia, kayaknya mau bikin Alvin babak belur”
“lho kenapa?!”
“karna Alvin udah bikin kakak kesayangannya masuk rumah sakit!!!”
“hah?! Via masuk rumah sakit?! Loe serius, Fy?!” Ify mengernyit mendengar suara Rio berubah. Sesaat kemudian dia langsung menyadari bahwa yang berbicara dengannya adalah Alvin.
“Ray sendiri yang bilang. Loe hati-hati aja sama dia. Kalo udah kalap Ray bisa nekat. Halooo?! Halloooo?! Ah shit pake dimatiin segala lagi”
***
“Mama, Papa, ayooooo kita macuk ke cituuuuu” tangan kecil Afika langsung menarik tangan Via dan Alvin, mengarahkan mereka menuju wahana yang ditunjuknya. Rumah hantu.
“Afi serius mau masuk sana?! Ngga takut?!” tanya Via menghentikan langkah kecil Afika.
“Api kan hebat. Kan ada mama cama papa ngapain takut?!” balas Afika polos, bikin Via langsung menatap Alvin di sebelahnya. Sebenarnya dia yang takut. Dari dulu dia emang takut kalo diajak masuk ke rumah hantu. Alvin tersenyum menyadari ketakutan Via.
“ayo kita masuk” ajak Alvin sambil menggendong Afika.
“tapi Vin…” Via mencekal tangan Alvin, membuat Alvin menatapnya dengan alis terangkat, dan tersenyum geli.
“udah punya anak masih juga takut, gimana sih?!” ledek Alvin.
“iya neh Mama, ngga acik ah, Api aja belani macak Mama takut?!” Afika ikut-ikutan meledek Mamanya, bikin Via langsung salah tingkah.
“udah deh ngga papa, ada aku kan?! Ngapain takut?! Ayo…” Alvin menggenggam lembut tangan Via dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggendong Afika.
Via menghela napas, dan mengikuti Alvin masuk ke dalam rumah hantu.
Dari kejauhan, Ray tersenyum melihat raut bahagia yang jelas terpancar di wajah kakaknya. Pikirannya melayang ke beberapa bulan lalu saat dia akan menghabisi Alvin.
“COWOK BRENGSEK!!! KELUAR LOE!!!” teriak Ray kalap. Ray ngga terima melihat kondisi kakaknya yang tiba-tiba ngedrop, dan itu semua gara-gara Alvin, cowok yang baru Ray ketahui adalah Papanya Afika.
“Ray?! Ngapain loe disini?!” tanya Alvin. Sebenarnya dia udah tau apa maksud Ray mencarinya, hanya saja dia tidak ingin menyulut amarah Ray. Ray masih labil, dan dia ngga boleh ikut-ikutan labil.
“NGGA USAH SOK POLOS DEH LOE!!! GUE MUAK SAMA SIKAP SOK BAIK LOE ITU!!!”
“apanya yang sok baik?!”
“CIH NGGA USAH NGELES SEGALA DEH!!! KALO LOE BALIK KE JAKARTA CUMA BUAT NYAKITIN HATI KAKAK GUE LAGI, MENDING LOE NGGA USAH BALIK-BALIK DEH!!! GUE LEBIH SUKA LOE JAUH-JAUH DARI KAKAK GUE DARIPADA LOE DEKET-DEKET DIA TAPI CUMA MAU MAININ DIA DOANG!!!”
“gue ngga ada niat mainin kakak loe, sungguh, gue…”
“OMONGAN BASI!!!”
Tiba-tiba Ray langsung meninju perut Alvin. Alvin yang tidak siaga langsung mundur dan meringis pelan. Kemudian disusul dengan serentetan pukulan lainnya dari Ray, hingga tiba-tiba Ray mendengar seseorang memanggil namanya.
“RAY!!!”
Ray mendongak, dan terkejut mendapati siapa yang telah berani mengganggunya.
“KAK VIA?! Kakak ngapain disini?! Aduh muka loe pucet tuh kak, kita balik ke RS aja yuk” Ray langsung menghampiri Via yang berjalan pelan ke arahnya. Tanpa disangka-sangka Via malah menampar Ray.
“kak, loe…” tanya Ray tidak percaya.
“harus berapa kali sih gue bilang?! Jangan pernah berantem lagi!!! Jangan bikin gue panik lagi!!! Loe ngga perlu ngotorin tangan loe buat cowok brengsek kaya dia. Percuma” ujar Via dingin. Dia emang ngga pernah suka melihat Ray berantem, apalagi sama Alvin.
“maafin gue kak”
“jangan diulang lagi. Ayo kita pergi dari sini” saat Via akan berbalik, tiba-tiba dia merasakan seseorang memeluk erat tubuhnya dari belakang. Via mencoba berontak, tapi tenaga Alvin lebih kuat, membuat Via menyerah, membiarkan Alvin memeluknya, dan diam-diam membiarkan hatinya menikmati pelukan hangat Alvin, meski dia tahu hatinya akan terluka lagi.
“kak…” Ray berusaha memisahkan mereka, tapi ucapan lirih Alvin membatalkan niatnya.
“please, biarin gue meluk loe, bentar aja. Gue kangen banget sama loe. Dari dulu gue slalu cari cara buat bisa balik kesini, tapi Mama ngga pernah ngebiarin gue kabur dari pengawasannya. Gue…”
“udah deh Vin, ngga usah ngasih harapan sama gue lagi. Loe besok mau nikah kan sama Shilla?! Kenapa loe malah meluk gue kaya gini?! Belum cukup bikin gue sakit?! Belum cukup bikin gue hancur?!” tanya Via. Ray mencelos saat melihat kakaknya menangis, tapi dia ngga bisa berbuat apa-apa, ngga kalo Via masih ada di depannya.
“gue ngga pernah cinta sama Shilla. Cuma loe yang gue mau, dari dulu sampe sekarang. Gue cuma cinta sama loe”
“TAPI KENAPA LOE MALAH NIKAH SAMA SHILLA?! KENAPA?!” kali ini Via histeris di pelukan Alvin. Alvin mencoba membalik tubuh Via dan mendekapnya dari depan, berusaha menghentikan Via yang berontak.
“gue tau, gue minta maaf. Gue nerima Shilla karna dia dijodohin sama gue, dan gue ngga bisa buat nolak, sama sekali ngga bisa. Shilla juga sama kaya gue, dia juga dipaksa, dan dia ngga bisa nolak. Tapi sekarang gue sadar, gue udah ngga bisa nahan perasaan gue lagi. Yang gue perluin cuma loe, bukan Shilla. Jadi please, kembali sama gue, please…”
“gue ngga bisa. Besok loe udah nikah sama Shilla, jadi buat apa?! Sia-sia” Via melepaskan pelukannya dan menatap Alvin nanar.
“pernikahannya batal” tiba-tiba Shilla muncul dari belakang Alvin, kali ini dengan menggandeng seseorang.
“Oom Tama setuju, Shill?!” tanya Alvin lagi, kali ini lengkap dengan raut sumringahnya.
“iya. Gue besok tetep bakal nikah, tapi sama Cakka, ngga sama loe. Neh undangan buat kalian. Jangan lupa dateng yaaa?!” Shilla menyerahkan selembar undangan kepada Alvin.
“pasti. Thanks banget yaa Shill”
“sama-sama. Kalian kapan nyusul?!” tanya Shilla menggoda, membuat Via langsung menunduk malu.
“secepatnya” ujar Alvin mantap. Shilla tertawa dan berlalu dari hadapan Alvin dan Via. Ray?! Dia masih betah menonton kelanjutan hubungan kakaknya dan Alvin.
Tiba-tiba Alvin mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, meraih tangan kanan Via dan memasangkan sebuah cincin berlian di jari manis Via, membuat Ray melongo heran. Langsung dilamar?! Waaaahhh…
“eeehhh…” ujar Via saat menyadari sesuatu melingkari jari tengahnya.
“would you marry me?!” tanya Alvin sambil menggenggam erat kedua tangan Via. Sebagai jawaban, Via mengangguk dan tersenyum manis. Kemudian Alvin mulai mendekatkan wajahnya ke Via. Lebih dekat, lebih dekat, dan hampir menyentuh bibir Via ketika Ray menyelanya.
“ngga inget ada gue disini yaaa?!” sungut Ray kesal, membuat Alvin dan Via langsung tertawa.
Ray tersenyum. Untung aja waktu itu dia ngga jadi menghabisi Alvin. Untung aja kak Shilla –mantan tunangan Alvin– memutuskan untuk menerima lamaran Cakka –cowok yang dari dulu dicintainya– dan melepaskan Alvin, hingga Alvin akhirnya bisa menikahi Via lima bulan lalu. Semoga kakaknya itu bisa bahagia bersama lelaki yang dicintainya. Semoga tidak akan ada lagi lima tahun yang terlewatkan dalam hidup kakaknya. Semoga lima tahun yang terlewatkan itu bisa terbayar dengan kehadiran Alvin disisi kakaknya.
- the end -
Thanks for read! Keep RCL! ;))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar